Tahun Baru, Semangat Perubahan
PERAYAAN tahun
baru Hijriyah dan Masehi hanya berselang
beberapa hari saja. Pasalnya Tahun Baru Hijriyah jatuh pada tanggal 29 Desember
2008 atau dua hari sebelum tahun baru Masehi 1 Januari 2009.
Menang tidak ada
persoalan besar terkait dengan berdekatannya perayaan tahun baru tersebut.
Namun bila ditelisik, faktanya, masyarakat menganggap antara tahun baru Islam
atau hijriyah dengan tahun baru masehi sesuatu yang amat kontras.
Hal ini terkait
dengan perayaan yang dilakukan. Tahun baru masehi harus diakui selalu gegap
gempita dengan perayaan pesta dan hiburan atau pesta rakyat. Sedangkan tahun
baru hijriyah terkesan ekslusif karena dirayakan dalam kerangka teologis umat
Islam an sich.
Menurut doktor
sejarah pemikiran Islam Universitas Leiden Belanda, Mufti Ali, Ph.D, sebetulnya antara tahun baru hijriyah
dan tahun baru masehi hanya identifikasi saja. Adanya perbedaan dalam hal
perayaan, lebih karena asal usul sejarah, teologi dan tradisi.
Menurut dosen
Fakultas Ushuludin IAIN SMH Banten ini, perbedaan asal usul ini pada gilirannya
menyebabkan perbedaan pola perayaan yang dilakukan oleh masyarakat. Perayaan
tahun baru masehi terkesan lebih mearkayat dan terbuka karena hegemoni
kekuasaan Barat terhadap dunia, lewat kekuatan ekonomi, teknologi dan media.
Menurut dosen yang menguasai lima bahasa asing ini,
terlepas dari perbedaan perayaan tahun baru itu, yang pasti semangat tahun baru
harus dikontekstualisasi dengan semangat perubahan yang lebih baik. Lelaki
kelahiran Cikeusal Kabupaten Serang 36 tahun yang lalu itu, melihat dalam
konteks sekarang, semangat yang diusung terutama untuk mengubah mentalitas
masyarakat.
Menurut dia,
saat ini mentalitas masyarakat dalam lebih bersifat memilih jalan cepat tanpa
memperhatikan proses yang panjang untuk membangun peradaban. Padahal, kata dia,
hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah penuh dengan proses yang
penuh dengan perjuangan dan baru menuai hasilnya berupa kejayaan Islam pada
zaman Dinasti Abbasiyah.
Untuk mengetahui
lebih jauh tentang tahun baru hijriyah dan masehi dikaitkan dengan konteks
sekarang, wartawan Fajar Banten mewancarai Mufti Ali. Berikut petikan
wawancaranya.
Ada kesan
pendikotomian antara tahun baru hijriyah dan tahun baru masehi, apa pendapat Bapak?
Saya kira bukan
pendikotomian tetapi identifikasi. Identifikasi ini sesuatu yang wajar karena
antara tahun baru hijriyah dan masehi memiliki asal usul sejarah yang berbeda.
Tahun baru masehi bertitik tolak mengambil momen waktu kelahiran Nabi Isa sedangkan
tahun baru hijriyah bertolak dari momen hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke
Madinah. Jika pada perkembangannya terjadi hal yang kontras dalam segi
perayaannya tentu hal yang alamiah saja. Jika tahun baru masehi terkesan lebih
mendunia dan merakyat itu karena berangkat dari representasi umat Kristiani
yang notabene pemeluknya berasal dari orang-orang yang punya hegemoni kekuatan
ekonomi dan media sehingga efek perayaan tahun baru masehi lebih mendunia dan
patut dirayakan dengan istimewa.
Sedangkan tahun
baru hijriyah bertitik tolak dari peritiwa hijrahnya Nabi Muhammad SW dari
Mekkah ke Madinah. Dari sisi teologis, jelas tahun baru hijriyah, berada dalam
kerangka dakwah Islam. Maka dari itu, dalam perkembangganya umat Islam lebih
merayakan dalam kerangka teologis sehingga terkesan ekslusif.
Bagaimana terkait
dengan perayaan Tahun Baru Masehi yang dilakukan dengan secara berlebihan?
Saya kira jika dilakukan secara berlebihan dengan pesta yang melanggar
norma agama, masyarakat dan hukum, seperti pesta seks bebas, narkoba dan
semacamnya patut dicela. Namun jika dirayakan secara tidak berlebihan, hanya
bersosialisas, rekreasi, makan-makan bareng dan sebagainya tak masalah. Itu
bagian dari ungkapan syukur dalam menyongsong datangnya tahun baru.
Serang, Desember 2008
Comments
Post a Comment