Pamor Piala Dunia dan Pilkada
Entah
kebetulan atau tidak, pesta demokrasi di Indonesia, karapkali beriringan waktunya dengan
penyelenggaraan turnamen bergengsi sepak bola Piala Dunia. Bahkan, pada Piala
Dunia 2014 di Brasil, laga final berbarengan dengan malam menjelang pencoblosan
Pemilihan Presiden (Pilpres).
Pada
pilkada serentak 2018 ini, pamor Piala
Dunia kembali menjadi “teman” masyarakat untuk begadang. Bahkan, saat malam menjelang pencoblosan,
pecandu sepak bola akan menyaksikan pertandingan seru dari tim unggulan yang
sedang berjuang supaya lolos babak ke 16 besar.
Membandingkan
pamor Piala Dunia dan pilkada tentu tak relevan mengingat keduanya pada ranah yang berbeda. Yakni sepak bola merupakan olahraga
dan pilkada merupakan ranah politik. Hal yang sama, tentu pada semangat
berkompetisi secara fair tanpa kecurangan. Di dunia sepak bola dikenal dengan
istilah “fair play” yang kemudian banyak diadopsi ke dalam politik dengan slogan siap kalah dan
menang.
Pamor
Piala Dunia 2018 memiliki magnet yang luar biasa bagi pecinta sepak bola
sejagat. Tayangan-tayangan pertandingan selalu memiliki rating yang tinggi
dengan yang lain. Belum lagi pemberitaan seputar peserta Piala Dunia, baik tim,
pemain bintang hingga pelatihnya. Kejutan-kejutan dan aksi fenomenal dalam
pertandingan dan hasilnya selalu menarik perbincangan.
Sebelum
dimulainya Piala Dunia 2018, publik sudah disuguhi daya tarik akan pesepak bola
hebat asal Mesir. Mohammed Salah, striker Timnas Mesir tersebut menyedot penggila
sepak bola pada Piala Dunia 2018 di Rusia. Meskipun Timnas Mesir yang dibelanya
dipastikan tak lolos babak 16 besar, Mo Salah, panggilan akrabnya, tetap
menjadi fenomena baru sebagai pesepak bola andal di tengah hegemoni rivalitas
antara Cristiano Ronaldo (Portugal) dan Lionel Messi (Argentina). Dua
pesepakbola tersebut sedang mengejar tropi Piala Dunia 2018 yang belum pernah
digenggamnya.
Mo Salah
seolah hadir memberikan alternatif dunia
sepak bola yang jenuh diantara rivalitas CR7 dan Messi yang telah berlangsung
belasan tahun terakhir tersebut. Maka
manakala penyerang Liverpool tersebut cedera saat final Liga Champions 2018,
fans sepak bola memberikan dukungan moral agar Mo Salah bisa segera sembuh dan
ikut Piala Dunia memperkuat Mesir. Termasuk dukungan dari para pecinta sepak
bola di Indonesia.
Kondisi
tersebut tentu saja secara tidak langsung membantu gaung Piala Dunia 2018. Mo
Salah, pemain yang dirindukan hadir berlaga di turnamen paling bergengsi di
dunia sepak bola tersebut. Meskipun tim yang dibela Moh Salah sudah dipastikan
tersingkir, namun gocekan Salah tetap memikat penonton sepak bola.
Salah satu
dari pamor yang mengangkat Piala Dunia 2018. Dalam setiap turnamen, selalu ada kejutan yang
membuat kompetisi lebih menarik. Ada pemain yang diramalkan jadi bintang justru
redup. Sebaliknya, ada pemain yang dianggap biasa saja jutsru bersinar. Itulah
sepak bola, selalu menyajikan sisi-sisi menarik. Drama pinalti, kartu kuning
dan merah dan berbagai insiden lainnya. Termasuk juga aksi selebrasi setelah
mencetak gol.
Dua bintang Swiss, Granit Xhaka dan Xherdan Shaqiri, harus
menerima kenyataan pahit. Selebrasi golnya ke gawang Serbia berbuah hukuman. FIFA
menjatuhan larangan bertanding bagi dua pesepakbola tersebut dua laga karena
kental aroma politis.Tidak hanya itu, keduanya juga harus membayar denda
sebesar 3,800 pounds.
Setelah diselidiki FIFA, kesan politis sangat kental terasa pada
selebrasi Xhaka dan Shaqiri, mengingat lawan yang mereka hadapi adalah Serbia.
Untuk diketahui, kendati masing-masing sudah merdeka, Serbia dan Albania masih
kerap bersitegang dalam banyak hal. Selebrasi Xhaka dan Shaqiri menggambarkan seekor burung elang
berkepala dua melalui tangannya yang merupakan bentuk simbol Albania yang
terletak di bendera negara.
Seperti yang diketahui, pemain Arsenal dan Stoke City itu
memiliki keturunan Albania yang sangat kental. Keduanya memutuskan pindah dari
negara yang dulu bernama Yugoslavia itu ketika terjadinya perang saudara pada
medio 90-an.
Kendati sudah lama meninggalkan negara leluhurnya, mereka selalu
mengampanyekan kedaulatan Albania dan juga Kosovo melalui sepak bola. Bahkan
beberapa tahun lalu Xhaka dan Shaqiri juga terlibat dalam laga amal setelah Uni
Eropa mengakui kemerdekaan Kosovo.
Itulah sepak bola. meskipun sejatinya bebas dari aroma politik,
para pemainnya adalah manusia biasa. Mereka kadang tak bisa menahan
ekspresi politiknya. Salah satunya yang
banyak dilakukan pemain sepak bola yakni melalui selebrasi gol. Itulah momen terbaik agar pesan bisa
tersampaikan secara cepat. Selain aroma politik, pemain sepak bola juga
mengekspresikan tentang suasana batin dan juga melalui selebrasi sebagai bentuk
solidaritas.
Pilkada serentak
Lantas bagaimana dengan pamor pilkada
serentak di Banten, Harus jujur diakui, pilkada serentak 2018 di Banten jauh
dari kontestasi yang menarik. Mengingat dari 4 daerah yang menyelenggarakan
pilkada, 3 daerah yakni Kota dan Kabupaten Tangerang serta Kabupaten Lebak
diikuti pasangan calon tunggal, yang seluruhnya adalah petahana. Hanya Kota
Serang yang diikuti tiga pasangan calon.
Alhasil, keriuhan pesta demokrasi tidak
terasa oleh publik. Masa kampanye dirasakan masayarakat adem ayem. Daya tarik
pilkada menjadi memudar saat parpol
sebagai pihak yang memiliki kesempatan mengusung calon memilih jalan aman
dengan mengusung petahana. Dipastikan, pilkada serentak hampir mustahil ada
kejutan. Dalam bahasa yang lebih lugas, tiga daerah yang diikuti calon tunggal
tinggal menunggu dilantik saja.
Faktor lain yang membuat publik kehilangan
gairah saat pilkada serentak tahun ini, yakni
adanya kejenuhan. Sebagaimana diketahui, setiap tahun pasti ada penyelenggaraan pilkada. Karena
keseringan, masyarakat menjadi jenuh. Apalagi, tidak ada daya tarik dari
pasangan calon yang diusung parpol maupun perseorangan.
Faktor figuritas dalam pilkada langsung
merupakan daya magnet bagi masyarakat. Saat itu hilang atau sengaja dihilangan
oleh sang pemilik kuasa mengusung calon (parpol), daya tarik pilkada pun
meredup.
Tapi itulah realitas. Mau tidak mau harus
diterima. Pasangan calon, baik yang tunggal maupun yang bukan tunggal, adalah
suguhan pilihan calon pemimpin. Itulah instrumen demokrasi kita. Berbeda
pandangan, hal biasa. Tapi saat kompetisi dimulai dan sudah ada pemenangnya, semua
harus menerima dengan lapang dada.
Pilkada jangan terlalu dianggap sebagai
sesuatu hal segala-galanya. Kalah menang adalah hal biasa. Saat pilkada berakhir,
kembali kembali membangun asa menatap pilkada ke depan. Kalau tidak pada
pilkada 2018, mudah-mudahan pada pilkada selanjutnya lebih menarik dan
kompetitif. Hal itu yang harus dijawab
parpol dan unsur independen sebagai pemegang hak mengusung pasangan calon. Kita
berharap pilkada melahirkan sosok pemimpin daerah yang berkualitas yang membawa
kesejahteraan masyarakatnya. ***
Comments
Post a Comment