Dididik Keras Belajar Alquran
Nadzir Kesultanan Banten H Tubagus Ismetullah Al-Abbas punya
pengalaman yang tak terlupakan saat belajar Alquran pada usia kanak-kanak.
Salah satu yang dirasakan yakni dididik keras oleh ayahnya KH. Tubagus Wase’
Abbas (Alm) atau lebih dikenal dengan sapaan Tus Kuncung.
“Sebelum menginjak sekolah dasar (SD), saya sudah diajarkan
belajar dan menghafal Alquran. Bersama KH. Tubagus Hafidz Al Abbas dan H.
Tubagus A. Sadzili Wasi, kami bertiga setelah Maghrib tidak boleh kemana-mana.
Kami harus belajar Alquran dengan Abah,” tutur Ismet dikediamannya, Ahad
(12/7/2015).
Ia menuturkan saat mengaji Alquran tersebut, Abahnya
menyiapkan kobokan air. Menurut Ismet, kalau ada diantara dia dan kedua
saudaranya yang tidak benar dalam bacaannya langsung disiram. “Langsung saja
diceborin air kobokan,” tutur pria delapan bersaudara ini.
Ia mengakui Abahnya dikenal keras dalam mengajarkan Alquran
kepada anak-anaknya. Salah satu yang ditekankannya yakni dalam membaca Alquran
harus fasih dan sesuai dengan ilmu tajwid.
Salah satu pesan Abahnya yang masih terus diingat hingga
sekarang, yakni soal belajar dan menghafal Alquran. “Bahaya kalau Banten, tak
lagi terdengar suara Alquran,” tutur suami Trialita Arta Mayasora ini.
Ia mengaku sangat mengagumi sosok Abahnya yang merupakan
salah seorang pelaku sejarah yang masyhur pada zamannya. Ia bukan saja berhasil
mengharumkan nama Banten di panggung nasional lewat alunan Alquran, tapi juga
menuntun masyarakat Banten ketika itu menjadi komunitas yang cinta Alquran.
Sekitar era 70-an, siapa yang tidak kenal Tus Kuncung. Suaranya yang merdu,
mengantarkanya sebagai salah seorang peserta pertama dalam sejarah Musabaqah
Tilawatil Quran (MTQ) tingkat Nasional yang diselenggarakan di Medan. Ketika
itu ia mewakili Jawa Barat.
“Diantara didikan Abah, salah satu dari kami yakni KH.
Tubagus Hafidz Al Abbas mengikuti jejak Abah yakni juara qari nasional pernah
juga dikrim ke Brunei Darussalam,” ucapnya.
Didikan keras Abahnya, kini dirasakan olehnya. Saat ia
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, Ismet sudah memiliki bekal
Alquran yang cukup.
“Alhamdulillah sejak ibtidaiyah, saya itu paling jago ngapal
Alquran,” tutur Ismet.
Ia kemudian melanjutkan mondok di Pesantren Pelamunan selama
dua tahun. Di pesantren asuhan KH Amin ini, Ismet mengaku banyak belajar
tentang ilmu Nahwu Sharaf, kitab-kitab kuning dan tafsir hadits. “Saya kemudian
pindah ke Pesantren Ciherang Pandeglang selama empat bulan,”ucapnya.
Ia merasakan pengaruh kerasnya didikan agama Abahnya
dimaksudkan agar dirinya memiliki dasar agama yang kuat sehingga menjadi modal
dalam belajar ilmu-ilmu yang lain maupun dalam bergaul.
Ia mengaku tak bisa lagi menunda keinginannya untuk
melanjutkan sekolah umum. “Saya tertarik sekolah umum saat melihat pegawai
pertamina yang pakai helm proyek. Atas izin Abah saya kemudian sekolah di SMP,
SMA hingga kuliah di Universitas Nasional,” kata pria yang sudah 15 tahun
memimpin organisasi sosial dan kepemudaan ini.
Ketua Forum Silaturahim Keraton Nusantara ini dikenal
sebagai aktivis sejak mahasiswa. Ia aktif di HMI. Selepas kuliah ia aktif di
Karang Taruna dan mendapat penghargaan sebagai aktivis Karang Taruna Teladan
Provinsi Jawa Barat.
Muliakan tamu
Satu hal yang patut dicontoh dari Generasi XII Sultan Muda
Banten ini yakni sikapnya yang tak pernah menolak kehadiran tamu di kediamannya
di Banten Lama.
“Saya tuh merasa dosa jika menolak tamu. Makanya pintu rumah
saya terbuka lebar untuk tamu,” kata Ismet.
Anggota Dewan Riset Daerah (DRD) Banten ini mengatakan apa
yang dilakukannya sudah sesuai perintah Allah dan Rasullullah. Ia menuturkan,
Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk memuliakan tamu. "Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan
tamunya." (Muttafaq 'alaih)
Oleh karena itu, ucap dia, memuliakan tamu menjadi hal yang
dipegang teguh. “Saya juga interospeksi diri, bagaimana rasanya kalau bertamu
di tolak,” katanya.
Ismet menuturkan, ia pun tak memilah-milah tamu yang datang ke rumahnya. Bukan hanya pejabat, politisi, ustaz, ulama, tetapi juga orang biasa. “Bahkan, kebanyakan tamu yang paling banyak yang sedang kesulitan ekonomi,” ucapnya.
Ismet menuturkan, ia pun tak memilah-milah tamu yang datang ke rumahnya. Bukan hanya pejabat, politisi, ustaz, ulama, tetapi juga orang biasa. “Bahkan, kebanyakan tamu yang paling banyak yang sedang kesulitan ekonomi,” ucapnya.
Ia merasakan, ada semacam kebahagiaan saat menerima para
tamu. Bagi Ismet, kebahagiaan yang dirasakan bukan hanya lahir tetapi juga
batin.
“Saya juga berpesan kepada pejabat juga tak boleh
memilah-milah tamu,” ucapnya.
Terkait pandangan tentang Banten, Ismet mengatakan hingga
kini Banten belum sesuai dengan mottonya yakni iman dan takwa. “Iman takwa
masih menjadi slogan,” ucapnya.
Menurut Ismet, jika konsen pada moto iman dan takwa maka
semestinya pemerintah daerah memberikan perhatian pada pesantren dan madrasah.
“Jangan hanya memasang baliho Asmaul Husna, namun perhatian
terhadap sektor keagamaan diabaikan,” ujarnya. Ismet juga menyoroti tentang
nama institusi pendidikan di Banten yang memakai nama Sultan Ageng Tirtayasa
dan Sultan Maualana Hasanudin. “Alangkah bagus jika di kampus-kampus tersebut,
pemikiran dan keilmuan dua tokoh Banten tersebut menjadi ruh dalam bidang
perkuliahan dan aktivitas akademiknya,” kata Tubaus Ismet menutup
perbincangan.***
Comments
Post a Comment